MENYENTUH ISTRI: MEMBATALKAN WUDHU?

Pertanyaan

Bagaimana hukum bersentuhan dengan isteri setelah berwudhu. Apakah membatalkan wudhu?

Maulana

Bandar Lampung

Jawab:

Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini sehingga terpolar menjadi berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat Al-Majmu’ 2/34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:

.

Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berhujjah dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.

أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ

Atau kamu telah berjima’ dengan istri. (QS. An-Nisa’: 43).

Mereka mengartikan kata لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat Al-Umm 1/30 oleh Imam Syafi’i dan Al-Majmu’ 2/35 oleh Imam Nawawi).

.

Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:

  • Dalil Pertama:

Asal wudhu seorang adalah suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya, sedangkan hal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi n akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorangpun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/235).

  • Dalil Kedua:

Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadits ini secara luas dalam At-Tamhid 8/504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1/135-138 Syaikh Ahmad Syakir).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh Al-Allamah As-Sindi dalam Hasyiyah Sunan Nasa’i 1/104.

  • Dalil Ketiga:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud maka beliau menyentuhku lalu sayapun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: “Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu”. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadits dan takalluf (menyusahkan diri). (Periksa Nailul Authar Asy-Syaukani 1/187, Subulus Salam As-Shan’ani 1/136, Tuhfatul Ahwadzi Al-Mubarakfuri 1/239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1/142).

  • Dalil Keempat:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah n dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).

Hadits ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 4/152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadits. (Lihat At-Tamhid 8/501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir Al-Qurthubi 5/146).

  • Dalil Kelima:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah n melakukan shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.

(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 2/35).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadits ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi –pent)”.

.

 

Pendapat Ketiga:

Memerinci:

  • Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan
  • Tidak batal apabila tidak dengan syahwat.

Dalil mereka sama seperti pendapat kedua, tetapi mereka membedakan demikian dengan alasan

“Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan”.

(Lihat Al-Mughni 1/260 Ibnu Qudamah).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua yaitu

Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka batal wudhunya

Atau minimal adalah pendapat ketiga.

Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat tersebut adalah jima’ berdasarkan argumen sebagai berikut:

  1. Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ (Al-Qamus Al-Mukhith Al-Fairuz Abadi 2/259).
  2. Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima’ diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid
  3. Mengkompromikan antara ayat tersebut dengan hadits-hadits shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah n menyentuh bahkan mencium istrinya (Aisyah) dan beliau tidak berwudhu lagi.
  4. Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 8/506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadits Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadits Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadits. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadits, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).

Demikianlah jawaban yang kami yakini berdasarkan dalil-dalil yang shahih, bukan fanatik madzhab dan mengikuti apa kata banyak orang. Semoga Allah menambahkan ilmu dan memberikan keteguhan kepada kita. Wallahu A’lam.

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

www.abiubaidah.com

Baca Juga Artikel Terbaru

30 Thoughts to “MENYENTUH ISTRI: MEMBATALKAN WUDHU?”

  1. Hamba Alloh

    semoga bermanfaat ustadz….

  2. abdul malik

    Ustadz, apakah hal ini juga berlaku untuk ibu dan saudara perempuan?

  3. Akhi Abdul Malik, ya berlaku juga untuk mereka.

  4. wahyu, ikhwan

    Ustadz, klo istri adalah orang yang halal bagi suaminya. Bagaimana klo seorang laki-laki bersentuhan kulitnya dengan perempuan bukan istrinya dan bukan muhrimnya? apakah wudhunya batal??? Misal pembeli dan penjual di pasar, ato ketika berada di kendaaraan umum, sehingga bersentuhan kulit tersebut dapat saja terjadi.

  5. ilato

    Alhamdulillah tambah keyakinan saya klo istri tersentuh tidak membatalkan wudhu, karena jelas2 klo istri itu muhrim si suaminya (saya). Selama tidak dengan syahwat sampai keluar air madhi dan mani.

  6. Akhi Wahyu, pada asalnya bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram adalah tidak boleh dan termasuk maksiat kecuali bila tidak sengaja, namun untuk mengatakan batal wudhunya itu membutuhkan dalil, tidak setiap maksiat membatalkan wudhu, apakah orang bohong berarti batal wudhunya?

  7. ummuirfan

    السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
    Alhamdulillah ana jelaskan pada ummi ana tapi ummi tetap dengan pendapat pertama sehingga akhir-akhir ini abi di hospital perlukan ummi selalu membantunya. Oleh itu setiap waktu solat ummi harus berwudhu lagi yang kamar air terletak jauh. Selang beberapa hari ummi bertanya ana ” tak batalkan pegang zauji”…………
    “Allah menginginkan kemudahan dan tidak menginginkan kesusahan.” (QS. Al-Baqarah :185) Jazakumullahu khairan katsiran atas ilmu yang manfaat.

  8. Rizq

    ust. bukankah Hukum nikah tidak bisa di gabung dengan Hukum Syari’atul mutoharoh kan yang menghalalkan istri itu ijab kabulnya mengapa bisa halal menyentuh dalam keadan wudhu..

  9. Pecinta Alawiyyin

    koq bsa g bathal wudhu’a?? ada hal apa
    kan babul nikah tidak bisa di gabung dengan bab Muthoharoh seorang suami bukan dari golongan yang sama dengan istrinya bahkan orang yang jauh…yang membatalkan wudhu itu bersentuhan deng yang bukan muhromnya..suami istri bukan muhrom dalam bab mutaharoh tpi dalam bab nikah muhrom karena udah halal dalam ijab qabul….
    inikan bab Nikah sama Bab muthoharoh kenapa bsa di campur begini????

  10. Dian cardiana

    Maaf abu,bagaimana kalau bersentuhan dgn ibu mertua?apa batal wudhunya

  11. Ibnu Ahmadi

    Assalamu’alaikum
    Afwan Ustadz, nanya tentang sholat boleh ya…Di mushola tempat ana, kalo jamaah subuh yang hadir hanya sedikit (kadang 2, atau 3). Saat hanya 2 orang berjamaah, posisi berdirinya makmum di sebelah kanan imam (bener tidak?), nah kalau dalam posisi demikian datang satu lagi makmum, di mana dia harus berdiri? di belakang? (kalau di belakang, apakah perlu makmum yang pertama mundur menyesuaikan?) atau disamping? atau dimana?
    Syukron.

  12. amaturrohman

    Assalamu’alaikum, ustadz ana ada sedikit pertanyaan:

    Sebelum bertambahnya masa haidh ana, ana memiliki masa haidh yang tetap sekita 7-9hr… kemdian pernah suatu (bulan A) ana mengalami haidh sampai 9hari…hari ke9 ana mendapati kesucian, darah haid berhenti, kering, kemudian ana mandi dan sholat, sampai 24 jam keeseokan harinya di hari ke 10(yang bukan lagi hari kebiasaan ana) tiba2 mengeluarkan sedikit darah hitam kecoklatan(mirip darah haidh) kemudian berhenti di hari ke 12… selama keluar darah tersebut ana tetap berwudhu dan sholat, karena menganggap itu sebagai darah istihadhoh, sebagaimana yang difatwakan oleh syaikh utsaimin bahwa dikatakan suci apabila masa keringnya terjadi selama 1 hari penuh.
    Bulan berikutnya(bulan B) ana mendapat haidh kembali normal seperti masa haidh ana 7 hari…
    Bulan berikutnya(bulan C) ana kembali mendapatkan kejanggalan persis seperti bulan A ana tetap sholat karena menganggap selebihnya adalah istihadhoh, sebagaimana kasus pada bulan A,
    Kemudian terakhir bulan D, ana mengalami haidh yang tidak terputus sampai subuh hari ke-12, ana kemudian berasumsi bahwa sekarang ana masa haidh ana bertambah…karena tidak ada terputusnya darah sama sekali, juga darah yang keluar masih sperti darah haidh….
    pertanyaan:
    1. benarkah sikap ana pada bulan A dan C yang terdapat kejanggalan , yg menganggap itu sebagai darah istihadhoh?
    2. sekarang ana di liputi was-was, ana khawatir bahwa sejak bulan A dan C.. haidh ana sudah mulai bertambah tapi keyakinan ana waktu itu adlah istihadhoh, karena ana pernah menanyakan hal ini pada saat itu kepada salah satu ustadz…di jawab bahwa insya Alloh itu istihadhoh…, apakah benar itu istihadhoh ustadz?
    3. Kalo ternyata itu bukan istihadhoh… apakah sholat2 ana yang ana bangun dengan keyakinan bahwa ana suci saat itu, sah? Atau harus diqodho? Bagaimana jika ana lupa, mulai dari sholat apa yang di qodho’?

    Mohon jawabannya ustadz…karena sekarang ana jadi bingung, perlu diketahui ana juga tidak pernah memakai alat kontrasepsi, tapi kok ada kejanggalan seperti ini.
    Jazaakumulloh khoiron ustadz

  13. dr.Yudistira Nugraha di sei berombang

    Ass wr wb. Pak ustad ada beberapa yg ingin saya tanyakan.1.Adakah nabi perempuan? 2.Apa beda nabi dan rasul? 3.Bolehkah perempuan membuat fatwa agama?

  14. Ukhti Amaturrahman, semoga Allah memberikan ketenangan kpd anda. Apabila memang anda memiliki jadwal yang tetap maka peganglah jadwal tersebut, dan selebihnya adalah darah istihadhoh. Namun bila memang jadwal anda tidak tetap, maka lihatlah darah tsb, kalau memang memiliki ciri-ciri haidh maka itu darah haidh dan apbila memilki ciri-ciri istihadhoh maka darah istihadhoh. Perbedaannya jelas, kalau darah haidh warnya merah kehitam-hitaman, bau, dan agak kental, sedangkan darah istihadhoh merah, encer dan tidak betapa bau. Bila ukhti menerapkan kaidah ini insyallah akan hilang kebingungan ukhti. Wallahu A’lam.

  15. Akhi Ahmadi, benar kalau cuma satu makmun maka posisinya sejajar dengan imam di sebelah kanannya, kalau ada makmum lainnya datang maka makmum pertama mundur atau imamnya maju. Wallahu A’lam.

  16. amaturrohman

    Jazaakalloh khoir ustadz atas jawabannya, ada yang ingin ana tanyakan lagi, gimana hukumnya mengusap kepala saat wudhu bagi wanita yang memakai ikat rambut yang terbuat dari karet atau kain, apakah boleh baginya mengusap di atas ikatan rambutnya tersebut, atau haruskah melepas pengikat rambut tersebut… jazaakalloh khoiron ustadz.

  17. zalina

    Ass wr wb. Apa hukumnye minta cerai atas alasan suami tidak menyentuh isteri hampir lima tahun. Pernah beliau tak memberi nafkah zahir selama 9 bulan berturut-turut pada saya. Begitu juga kami tidak lagi berkomunicasi dgn baik. Perasaan terhadap suami semakin pudar. Terasa diri ini terseksa dalam diam. Minta nasihat dan pandagan ustaz. Terima kasih.

  18. @ Zalina

    Sepertinya, pertanyaan Anda perlu segera dijawab, tetapi Ustadz Abu Ubaidah masih ada kendala dengan koneksi internet di tempat beliau. Coba, Anda bertanya kepada ustadz lain yang cukup aktif di internet, Ustadz Aris Munandar di http://ustadzaris.com

    —-administrator—

    Baarakallah fiik.

  19. abu firyal

    Assalamu’alaikum
    Ustadz, ana tinggal dengan lokasi tempat kerja sekitar 40 Km dari rumah setiap hari bolak balik, apa boleh setiap hari itu ana jamak dan qashar shalat ana (dzuhur dengan ashar) dilokasi tempat kerja ana ?
    Jazakallah atas jawabanya

  20. Jalil

    kalau setelah wudhu kita menginjak tempat yang kotor karena debu atau tanah batal atau tidak?

  21. rofie

    Ass…! Ustad, maaf saya mau bertanya kalo kita punya wudhu kemudian tersentuh oleh istri tidak batal, maka apakah batal kalo tersentuh oleh ibu martua? wass…

  22. susanto

    Pak ustadz, assalamu’ allaikum,
    saya ada masalah nih, saya baru 5 bulan menikah, istri saya dulu adalah katholik, tapi alhamdulillah sudah muallaf, tapi yang jadi masalah adalah mertua saya yang bapak katholik tapi yang ibu Islam, saya bingung harus gimana menyikapi mertua saya itu padahal kan hukumnnya pernikahan keduannya tidak syah karena sudah tidak seagama? mohon penjelasannya y

  23. rully

    ustadz mohon jawabannya ustadz…karena sekarang saya jadi bingung ada yg berpendapat kalo suami menyentuh istri yg sudah wudhu maka istri tidak batal ada yg berpendapat suami menyentuh istri yg sudah wudhu maka istri menjadi batal wudhunya, mohon penjelasannya ustadz tentang Haditsnya

  24. fajria nur laila

    trmksh ustad

  25. Mohammad Nurul Suhada

    Assalamualiakum wr.wb,ustadz sy mau tanya perihal sodaqoh,dan zakat,pertanyaannya sbb:
    (1).jika saya memberikan bantuan kepda adik saya terus saya niatkan untuk sedekah,apakah itu dibolehkan,terus dalam islam sndiri perbuatan tsb dikatakan sebagai apa
    (2).boleh kah soadqoh atau zakat itu sy berikan keadik atau orangtua?
    (3).apa hukumnya jika sy tetap memberikan zakat atau sodakoh kepada orang lain sementara ada diantara keluarga kita yang masih kekurangan?
    demikian pertanyaan ssaya semoga saya selalu diberi pentunjuk,atas jawaban yang ustadz berikan sy banyak-banyak mengucapkan terimakasih
    Billahitaufik walhidayah
    Assalamualaikum Wr.Wb

  26. Shiddiq Waluyo

    Bagus… Jazaakallah khoiro… semoga bermanfaat… amien

  27. syafii

    alhamdulillah,,,,,terimakasih smuanya,

  28. hisyam mansur

    terimakasih banyak, semoga sllu dirahmati Allah SWT,Amiin…

  29. Subhanallah penjelasan yang begitu terperinci

  30. maimunatul zuhrah

    سُبْحَانَ اللَّهِ
    Semoga bermanfaat
    Aamiin
    Namun saya tetap mengikuti madzhab syafi’I bahwasannya bersentuhan dengan suami itu batal walaupun tidak mengandung syahwat. Misalnya, selepas kita sholat maghrib kemudian mencium tangan suami itu sudah batal, kemudian untuk sholat isya’ mesti wudhu lagi. Itu yg saya pedomankan sampai saat ini.
    شُكْرًا كَثِيْرًا ilmunya.

Leave a Comment